Rabu, 25 Mei 2016

BENTUK - BENTUK BADAN USAHA



                    I.            PERSEROAN TERBATAS


Pengertian Perseroan Terbatas
Perseroan terbatas atau disingkat dengan PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Hal ini diatur oleh Undang-undang Nomor 1 th.1995. Ciri-ciri Perseroan Terbatas
1.      adanya kekayaan yang terpisah; adanya tujuan tertentu
2.      adanya organisasi yang teratur kekayaan yang terpisah adanya harta kekayaan yang terpisah mengandung arti dalam bidang hukum perdata adalah ditujukan apabila dikemudian hari timbul tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi perseroan tersebut , maka tanggung jawab harta kekayaan semata-mata pada harta kekayaan yang ada pada perseroan itu.
Tujuan pembentukan PT itu juga adalah untuk mengejar tujuan perseroan itu dalam pergaulan hukumnya ditengah-tengah masyarakat. Dengan terpisahnya harta kekayaan PT sebagai badan hukum dan harta kekayaan peribadi para pesero, yaitu :
a)      kreditur peribadi para pesero tidak mempunyai hak menuntut harta kekayaan PT.
b)      para pesero peribadi,juga alat perlengkapan PT secara peribadi tidak mempunyai hak menagih piutang dari badan hukum terhadap pihak ketiga
c)      kompensasi antara hutang peribadi dan hutang PT tidak diperbolehkan
d)     hubungan hukum, baik perikatan maupun proses-proses yang lain antara para pesero dan/atau alat perlengkapan PT dengan PT sebagai badan hukum , dapat saja terjadi seperti hubungan hukum maupun perikatan antara badan hukum dengan pihak ketiga
e)      dalam hal pailit,maka para kreditur PT tidak dapat menuntut harta kekayaan terpisah itu. ada tiga macam modal/kekayaan yang terpisah dari suatu PT antara lain modal dasar (stood kapitaal), modal yang ditempatkan (geplaat kapitaal), dan modal yang disetor penuh (gestoort kapitaal).
Ketentuan pasal 13 undang-undang nomor 1 th.1995 menurut Prof.Dr Nindyo Pramono mencatat adanya pengakuan ada perbedaan antara PT tertutup dan PT terbuka, di Belanda dikenal dengan nama Naamloze Venootschap (PT terbuka) dan Besloten Venootschap (PT tertutup). Indikator PT tertutup adalah nampaknya tercantum pada pasal 25 ayat (1) UU Nomor 1 Th.1995 modal dasar adalah sebesar Rp.20.000.000,- dari modal dasar tersebut, lalu berdasarkan pasal 26 ayat (1) pada saat pendirian minimal harus sudah ditempatkan paling sedikit 25% berarti Rp.5.000.000,- jadi merupakan modal yang ditempatkan.dari modal yang ditempatkan , lalu menurut ketentuan pasal 26 ayat (2) yang harus disetorkan ke kas perseroan 50% dari yang ditempatkan, berarti Rp.2.500.000,- merupakan modal yang disetor. Pengakuan PT terbuka didalam peraktek dikenal dengan istilah PT “Go Public” yang menjual sahamnya melalui mekanisme bursa pasar modal . maksud dan tujuan pendirian perseroan terbatas. Sesuai dengan ketentuan undang-undang no.1 th.1995 pasal 12 disebutkan bahwa pemakaian nama PT harus mencerminkan tujuan PT, yang bergerak dalam bidang usaha jual beli atau pengembangan kawasan atau perumahan. Dengan catatan perseroan tidak boleh menggunakan nama yang telah dipakai secara syah oleh perseroan lain atau mirip dengan nama perseroan lain, atau bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan. mempunyai kepentingan sendiri yakni kepentingan yang tercermin dalam hak-haknya untuk dapat menuntut dan mempertahankan kepentingannya kepada pihak ketiga menurut ketentuan hukum.
Tujuan PT adalah untuk memperoleh keuntungan usaha yang secara tidak langsung merupakan keuntungan pula bagi para pemegang saham. Kepentingan PT lebih kepada keuntungan untuk dana cadangan, sedangkan pemegang saham adalah dividen atau capital gain. PT adalah badan hukum jadi dapat berupa subjek hukum, disamping orang sebagai subjek hukum. Badan hukum hanya dapat bertindak melalui organnya dalam kerangka melakukan perbuatan hukum. Peraturan melakukan tindakan hukum tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang diambil dalam suatu rapat anggota. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dengan tegas menyatakan bahwa akta pendirian PT itu memuat anggaran dasar dan keterangan lain,sekurang-kurangnya :
a)      nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraan pendiri
b)      susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan anggota direksi dan komisaris yang pertama kali diangkat
c)      nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian julah saham dan nilai nominal atau nilai yang diperjanjikan dari saham yang telah ditempatkan dan disetor pada saat pendirian.
Kapankah suatu PT dianggap sebagai badan hukum?
Suatu PT sebagai subjek hukum adalah semenjak anggaran dasar perseroan yang dibuat oleh pendirinya dihadapan notaris sampai akta notarisnya dipublikasikan pada Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Dengan undang-undang nomor 1 tahun 1995 dengan tegas bahwa PT itu adalah badan hukum,selengkapnya pasal 1 ayat(1) berbunyi “Perseroan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Pasal 7 ayat(6) berbunyi “Perseroan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) disahkan oleh Menteri”.
Perseroan Terbatas terbuka adalah penting dalam lalu lintas kegiatan ekonomi nasional antara lain
a)      memungkinkan pengerahan dana masyarakat
b)      meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi dengan memperoleh laba bersama.
c)      Pemerataan kesejahteraan melalui jual beli saham dengan masyarakat
d)      Meningkatkan tanggung jawab sosial PT karena dia dibawah pengamatan dan kontrol masyarakat baik melalui pemegangan saham ataupun mekanisme pasar modal. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 menyebutkan bahwa perseroan didirikan oleh 2 orang atau lebih dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia, kecuali BUMN ditentukan dalam pasal 7 ayat (5). Ketentuan ini menunjukkan bahwa paham mendirikan PT di Indonesia masih menganut paham perjanjian (overeenkomst), bukan gesamtakt.
Setiap perusahaan wajib mendaftarkan perusahaan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang pendaftaran perusahaan. Tujuan dibuatnya daftar perusahaan adalah untuk mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar oleh perusahaan dan merupakan sumber informasi resmi bagi semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas, data serta keterangan lainnya tentang perusahaan yang tercantum dalam daftar perusahaan itu dalam rangka menjamin kepastian berusaha.
Perusahaan yang wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan adalah setiap perusahaan yang berkedudukan dan menjalankankegiatan usahanya di wilayah Indonesia, termasuk kantor-kantor cabang, kantor-kantor pembantu, anak perusahaan serta agen atau perwakilan perusahaan yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perjanjian, seperti misalnya PT,Koperasi, Partnership,Firma dan CV dsb. Tanda daftar perusahaan berlaku untuk jangka waktu 5 tahun, tiga bulan sebelum masa berlaku tanda daftar perusahaan maka perusahaan itu mendaftarkan kembali di Dinas Perdagangan, dinas yang membina dan bertanggung jawab kepada kegiatan perusahaan Ketentuan mengenai modal dasar perseroan ini sebesar Rp.20.000.000,-dimaksudkan agar PT sebagai pelaku bisnis benar-benar memulainya dengan kemampuan modal riil, sehingga diharapkan mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang mengadakan hubungan hukum dengan PT.
Untuk menjamin sehat tidaknya suatu perusahaan perlu melakukan pengawasan terutama berkenaan dengan manajemennya, apakah perusahaan mengalami untung atau rugi. Pasal 8 dan pasal 12 KUHD harus diukur dengan jasa akuntan publik. Akuntan publik melakukan pemeriksaan keadaan pembukuan,asset-asset perseroan, manajemen sumber daya manusia, dsb. Dari hasil pemeriksaan akan mengeluarkan pendapatnya guna meluruskan sekaligus dengan peringatan-peringatan yang dapat menjadi usaha penyempurnaan PT. Bentuk laporan akuntan publik sesuai dengan norma pemeriksaan dapat diperkirakan terdiri dari
a)      Pernyataan Akuntan
b)      Laporan keuangan yang terdiri dari neraca, perhitungan laba rugi beserta penjelasan untuk menghindarkan adanya kesalahan dalam penafsiran.
c)      Memuat lampiran-lampiran yang diharuskan antara lain :
1.      daftar piutang kepada kreditur
2.      daftar penyertaan
3.      daftar uang muka yang dibayar kepada anak perusahaan atau pihak ketiga
4.      daftar aktiva tetap
5.      daftar utang jangka panjang
6.      daftar pengisian dan cadangan ada 4 jenis pernyataan pendapat Akuntan publik yaitu :
*  pendapat wajar tanpa syarat atau baik tanpa pembatasan atau unqualified opinion’ berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan norma-norma pemeriksaan akuntan , penyajian laporan keuangan perusahaan adalah telah sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang ditetapkan dengan secara konsisten dengan tahun sebelumnya dan mengandung penjelasan yang diperlukan.
*  Pendapat wajar dengan syarat atau baik dengan pembatasan atau qualified opinion. Akuntan menyatakan bahwa laporan keuangan telah memperlihatkan memperlihatkan gambara secara wajar dengan catatan atau pembatasan atau pengecualian tertentu.
*  Laporan tanpa pendapat atau penolakan memberikan pendapat atau no opinion atau Disclaimer of opinion. Disini akuntan tidak mendapatkan bahan-bahan pembuktian secara mencukupi untuk memberikan pendapat mengenai kewajaran penyajian laporan keuangan secara keseluruhan.
*  Pendapat tidak wajar atau tidak setuju atau adverse opinion. Pendapat tidak wajar diberikan dalam tiap laporan akuntan , bilamana terdapat penyimpangan yang potensial terhadap prinsip-prinsip akutansi yang berlaku umum baik dalam penyajian maupun penyusunan laporan keuangan.

                   II.            KOPERASI

Koperasi Sebagai Badan Hukum
Kegiatan ekonomi memerlukan hukum di dalam pelaksanaannya agar terpelihara dan terjaminnya keteraturan dan ketertiban, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dan merugikan supaya keadilan dapat terpenuhi bagi semua pihak. Seperti yang dikemukakan oleh Kranenburg bahwa keadilan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban (teori ev postulat), begitu pula yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa keadilan adalah suatu keadaan yang mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Pelaksanaan hukum dan keadilan harus dapat berjalan seimbang, seperti pendapat Jeremy Bentham yang mengatakan bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya.
Keadilan juga menjadi hal penting yang dikehendaki oleh founding fathers agar tercipta kesejahteraan di Indonesia, seperti tercermin dalam sila kelima dari Pancasila, bahwa keadilan sosial adalah bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga dikehendaki adanya kemakmuran yang merata di antara seluruh rakyat, dan di dalam Pembukaan UUD 1945 antara lain dinyatakan bahwa, salah satu tujuan negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini tidak terlepas dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu :
“Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”, sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 23, 27, 33, dan 34 UUD 1945.
Arti keadilan sosial di atas mengandung dua makna yaitu sebagai berikut prinsip pembagian pendapatan yang adil dan prinsip demokrasi ekonomi. Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 mencantumkan demokrasi ekonomi sebagai cita-cita sosial, sehingga di dalam pelaksanaan perekonomian nasional harus didasarkan pada demokrasi ekonomi bahwa siapapun dapat melakukan kegiatan ekonomi. Terwujudnya demokrasi ekonomi dijalankan atas suatu asas yaitu asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945. Penjelasan Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 mengatakan bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan adalah koperasi.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 menyatakan koperasi sebagai bagian penting dalam upaya mewujudkan daya saing bangsa dan untuk meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Di samping itu, menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 mencantumkan bahwa pemberdayaan koperasi di Indonesia merupakan salah satu upaya strategis dalam meningkatkan taraf hidup sebagian besar rakyat Indonesia.
Pengaturan tentang koperasi terdapat dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian (selanjutnya disebut UU Perkoperasian), dan  pada tanggal 30 Oktober 2012 telah diundangkan undang-undang perkoperasian yang baru Nomor 17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian.  Undang-undang Nomor 17 tahun 2012 lebih rinci mengatur mengenai kegiatan perkoperasian, seperti adanya aturan lebih lengkap tentang perubahan anggaran dasar, kewajiban pengurus, modal penyertaan, dan praktek investasi pada koperasi. Menurut Pasal 1 butir 1, UU Perkoperasian definisi koperasi adalah:
“Badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan”.
UU Perkoperasian merupakan peraturan yang lebih khusus yang dapat mengesampingkan peraturan yang lebih umum tentang koperasi. Apabila peraturan atau perjanjian tersebut tidak diatur sendiri, maka berlakulah ketentuan dari KUH Perdata, hal ini terlihat di dalam KUH Perdata Bab IX tentang perkumpulan Pasal 1660 yang menyebutkan  bahwa:
“Hak-hak serta kewajiban para anggota perkumpulan diatur menurut peraturan atau perjanjian perkumpulan itu sendiri, atau menurut surat pendiriannya sendiri”.
Manusia (natuurlijk persoon) ternyata bukan satu-satunya pendukung hak dan kewajiban di dalam pergaulan hukum, sebab masih ada lagi pendukung hak dan kewajiban yang dinamakan badan hukum (rechtpersoon). Chidir Ali memberi definisi terhadap badan hukum yaitu:
“Segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban”.
Badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus dengan perantaraan organnya yang bertindak atas nama badan hukum. Otto Von Gierke mengemukakan suatu teori yang dinamakan teori organ, bahwa badan hukum itu adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia dalam pergaulan hukum.
Koperasi merupakan salah satu bentuk badan usaha berbadan hukum sebab akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, serta pengesahan tersebut diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 9 UU Perkoperasian. Berdasarkan bentuk koperasi yang merupakan badan hukum, maka koperasi merupakan subyek dalam hubungan hukum yang dapat menjadi pembawa hak dan kewajiban hukum. Badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus dengan perantaraan manusia atas nama badan hukum, sehingga koperasi memerlukan organ dalam kegiatannya.

Pembagian organ koperasi yang tercantum dalam Pasal 21 UU Perkoperasian terdiri dari:
1.    Rapat anggota
2.    Pengurus
3.    Pengawas

*  Rapat Anggota berhak meminta keterangan dan pertanggungjawaban dari pengurus dan pengawas mengenai pengelolaan koperasi, sebab tugas utama pengurus adalah mengelola koperasi dan usahanya, sedangkan tugas utama pengawas adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan koperasi. Pasal 30 Ayat (2) UU
*  Perkoperasian menguraikan bahwa pengurus mempunyai wewenang untuk :
1.      mewakili koperasi di dalam dan di luar pengadilan
2.      memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar
3.      melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan Rapat Anggota.
Ketentuan Pasal 16 UU Perkoperasian menyebutkan bahwa jenis koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya. Berdasarkan pendekatan menurut lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggotanya terdapat jenis koperasi simpan pinjam. Koperasi dengan jenis simpan pinjam adalah koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam soal-soal perkreditan atau simpan pinjam.
Koperasi terdiri atas dua bentuk seperti yang termuat dalam Pasal 6 UU Perkoperasian, yaitu koperasi primer dan koperasi sekunder. Koperasi primer, baru dapat didirikan apabila ada minimal 20 (dua puluh) orang yang secara bersama-sama mempunyai tujuan untuk mendirikan suatu koperasi, sehingga hubungan antara berbagai perangkat dalam badan usaha koperasi tersebut menimbulkan suatu hubungan hukum yang akan terus terjadi selama ada interaksi internal maupun eksternal. Pengaturan mengenai hubungan hukum tersebut, diawali oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu dalam buku II tentang perikatan. Pasal 1234 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Adapun memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu dinamakan prestasi. Perikatan yang dilakukan oleh para anggota koperasi tersebut dituangkan ke dalam anggaran dasar koperasi sebagai dasar formal bagi persetujuan atau kesepakatan para anggota untuk bekerja sama yang merupakan fondasi bagi koperasi. Persetujuan tersebut sah apabila syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah terpenuhi, yaitu :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal
Persetujuan yang telah dibuat tersebut sah berlaku menjadi undang-undang bagi para anggota dan semua unsur koperasi yang telah membuatnya, dan tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan sepakat oleh kedua belah pihak, serta harus didasarkan pada itikad baik, sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata. Persetujuan di dalam sebuah anggaran dasar membuat hak dan kewajiban masing-masing organ koperasi jelas serta sebagai tata tertib ke dalam koperasi yang mengikat semua organ koperasi.
Pengelolaan kegiatan koperasi oleh pengurus dalam praktek tidak selalu sesuai dengan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang, sebab mungkin saja terjadi suatu kelalaian. Kelalaian yang dilakukan oleh pengurus koperasi dapat menyebabkan adanya wanprestasi. Ketentuan tentang wanprestasi terdapat dalam Pasal 1238 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa:
“Si berutang adalah Ialai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Apabila yang seharusnya memenuhi suatu prestasi itu lalai dalam kewajibannya untuk menyerahkan sesuatu, maka sejak saat itu risiko berpindah kepadanya. Wanprestasi dalam ilmu hukum dapat berupa empat macam yaitu :
1.      Sama sekali tidak memenuhi prestasi
2.      Tidak tunai memenuhi prestasi
3.      Terlambat memenuhi prestasi
4.      Keliru memenuhi prestasi
Kelalaian oleh pengurus koperasi dapat berpengaruh kepada anggotanya, sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. Berdasarkan Pasal 1243 KUH Perdata anggota koperasi dapat meminta penggantian biaya, rugi dan bunga apabila tetap dilalaikannya suatu prestasi padahal sebelumnya telah diberikan surat peringatan kepada pengurus.
Apabila dalam hal pengurus meninggal dunia, terdapat dua instrumen hukum pengalihan utang pengurus kepada ahli warisnya, yaitu dengan hukum waris adat dan hukum waris islam, sebab sistem hukum nasional Indonesia beragam. Hukum waris islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum islam bersumber dari wahyu Ilahi yang pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari iman seseorang. Menurut Prof. Soepomo pengertian dari hukum waris adat sebagai berikut :
“Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya”.
Sistem kewarisan adat tergantung pada bentuk susunan masyarakat tertentu dimana sistem kewarisan itu berlaku, sebab sistem tersebut dapat ditemukan juga dalam berbagai bentuk susunan masyarakat ataupun dalam satu bentuk susunan masyarakat dapat pula dijumpai lebih dari satu sistem kewarisan. Hal penting dalam masalah waris adat ada tiga unsur yaitu:
1.      Seorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan
2.      Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu
3.      Harta warisan atau harta  peninggalan yaitu kekayaan “in concreto” yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu.

                   III.            YAYASAN

Pertumbuhan Badan Hukum Yayasan cukup pesat dalam masyarakat Indonesia. Keberadaan yayasan pada dasarnya merupakan pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Dengan adanya yayasan, maka segala keinginan sosial, keagamaan dan kemanusiaan itu dapat diwujudkan di dalam suatu lembaga yang telah diakui dan diterima keberadaannya. Bahkan ada pendapat mengatakan bahwa yayasan merupakan nirlaba, artinya tujuannya bukan mencari keuntungan, melainkan melaksanakan sesuatu yang bersifat amal.
Namun tidak semua yayasan yang ada dalam masyarakat itu didaftarkan untuk menjadikannya suatu badan hukum menurut peraturan yang berlaku. Di Indonesia kegiatan sosial kemanusiaan yang dilakukan yayasan diperkirakan muncul dari kesadaran masyarakat kalangan mampu yang memisahkan kekayaannya untuk membantu masyarakat yang mengalami kesusahan. Adapun alasan mereka memilih mendirikan yayasan karena jika dibandingkan dengan bentuk badan hukum lain yang hanya terkonsentrasi pada bidang ekonomi dan usaha, yayasan dinilai lebih memilih ruang gerak untuk menyelenggarakan kegiatan  sosial seperti pendidikan, kesehatan serta keagamaan yang pada umumnya belum ditangani oleh badan-badan hukum lain.
Pendirian suatu yayasan di Indonesia, sebelum adanya Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan hanyalah berdasarkan kebiasaan yang hidup  dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung. Proses pendirian yayasan yang mudah mendorong orang untuk mendirikan yayasan dalam menjalankan kegiatan mereka. Oleh karenanya yayasan berkembang di masyarakat tanpa ada  aturan yang jelas, banyak yayasan disalahgunakan dan menyimpang dari tujuan semula yaitu bidang sosial kemanusiaan. Sedangkan status hukumnya sebagai badan hukum masih sering dipertanyakan oleh banyak pihak, karena keberadaan yayasan sebagai subyek hukum belum mempunyai kekuatan hukum yang tegas dan kuat.
Pada waktu itu ada kecendrungan masyarakat memilih bentuk yayasan antara lain karena alasan proses  pendirian sederhana, tanpa pengesahan dari pemerintah, adanya persepsi dari masyarakat bahwa yayasan bukan merupakan subyek hukum.
Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 27 Juni 1973 Nomor 124K/Sip/1973 telah berpendapat bahwa yayasan adalah badan hukum. Akan tetapi bagaimana tata cara yang harus dipenuhi oleh pengelola yayasan untuk memperoleh status badan hukum tersebut masih juga belum secara jelas diatur dalam peraturan perUndang-Undangan, keberadaan lembaga yayasan hanya didasarkan pada kebiasaan, doktrin dan yurisprudensi Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan walaupun tidak disebutkan secara tegas, yayasan di Indonesia  telah diakui pula sebagai badan hukum.

Untuk diakui sebagai badan hukum yayasan harus memenuhi :
a)      Syarat materiil yang terdiri dari, harus ada pemisahan harta kekayaan, adanya tujuan tertentu dan mempunyai organisasi.
b)      Syarat formil yaitu didirikan dengan akta autentik.
Umumnya yayasan selalu didirikan dengan akta notaris sebagai syarat bagi terbentuknya suatu yayasan. Namun ada juga yayasan yang didirikan oleh badan-badan pemerintah dilakukan atau dengan  suatu Surat Keputusan dari pihak yang berwenang untuk itu atau dengan akta notaris. Didalam akta notaris yang dibuat tersebut dimuat ketentuan tentang pemisahan harta kekayaan oleh pendiri yayasan, yang kemudian tidak boleh lagi dikuasai  oleh pendiri. Akta notaris itu tidak didaftarkan di Pengadilan Negeri dan tidak pula diumumkan dalam berita negara. Para pengurus yayasan tidak diwajibkan untuk mendaftarkan dan mengumumkan akta pendiriannya, juga tidak disyaratkan pengesahan aktanya Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia.
Selama ini beberapa peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku hanya menyebutkan mengenai yayasan tanpa menjelaskan atau mengatur tentang pengertian yayasan, seperti yang terdapat dalam Pasal 365, Pasal 899, Pasal 900 dan Pasal 1680 KUHPerdata. Didalam pasal-pasal  ini sama sekali tidak memberikan pengertian tentang yayasan.
Agar pengertian yayasan tidak menyimpang maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Pengertian yayasan pada Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 menyatakan bahwa :
“Yayasan adalah suatu badan hukum  yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota”.
Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, maka penentuan status badan hukum yayasan harus mengikuti ketentuan yang ada didalam Undang-Undang  tersebut. Dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dengan ketentuan tersebut dapat diketahui yayasan menjadi badan hukum karena Undang-Undang atau berdasarkan Undang-Undang bukan berdasarkan sistem terbuka yaitu berdasarkan pada  kebiasaan, dokrin dan  yurisprudensi. Modal awalnya berupa kekayaan pendiri yang dipisahkan dari kekayaan pribadinya yang lain. Memiliki tujuan tertentu yang merupakan konkretisasi nilai-nilai keagamaan, sosial dan kemanusiaan, tidak memiliki anggota.
Yayasan sebagai suatu badan hukum, memiliki hak dan kewajiban yang independen, yang terpisah dari hak dan kewajiban orang atau badan yang mendirikan yayasan, maupun para Pengurus serta organ yayasan lainnya. Yayasan merupakan suatu badan yang melakukan berbagai kegiatan yang bersifat sosial dan mempunyai tujuan adil.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Yayasan, status badan hukum yang jelas pada sebuah yayasan diperoleh setelah ada akta pendirian yayasan, dan syarat-syarat pendiriannya adalah sebagai berikut :
a)      Didirikan oleh satu orang atau lebih;
b)      Ada kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendirinya;
c)      Dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam Bahasa Indonesia;
d)     Harus memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia;
e)      Diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;
f)       Tidak boleh memakai nama yang telah dipakai secara sah oleh yayasan lain atau bertentangan dengan ketertiban umum  dan atau kesusilaan;
g)      Nama yayasan harus didahului dengan kata “Yayasan”.

Ketentuan tersebut dimaksudkan agar penataan administrasi pengesahan suatu yayasan sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik guna mencegah berdirinya yayasan tanpa melalui prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001  jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan isinya selain bersifat mengatur, juga bersifat memaksa. Undang-Undang ini bukan hanya berlaku terhadap yayasan yang didirikan setelah Undang-Undang Yayasan tersebut berlaku, melainkan berlaku pula terhadap yayasan yang ada sebelum Undang-Undang Yayasan tersebut ada.
Pada prinsipnya, terkait  status badan hukum, yayasan  yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, berdasarkan pada yurisprudensi dan doktrin, tetap diakui menjadi badan hukum apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
Berdasarkan ketentuan peralihan  Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, sejak berlakunya undang undang tersebut akan muncul dua pengakuan yang berbeda terhadap yayasan. Ada yayasan yang diakui sebagai badan hukum, sementara di sisi lain ada juga yayasan yang tidak diakui sebagai badan hukum. Pengakuan tersebut menimbulkan konsekwensi yuridis bagi Yayasan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan tersebut.
Yayasan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan tersebut, dan telah  didaftarkan di Pengadilan Negeri tetap diakui sebagai badan hukum. Hal ini merupakan hak yang telah diperoleh yayasan sebelumnya, oleh karena itu sesuai dengan prinsip hukum yang belaku, hak tersebut tidak dapat hilang begitu saja.
Pendaftaran yang telah dilakukan oleh Yayasan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 pada Pasal 71 Ayat  (1) tentang Yayasan hanya terbatas pada Yayasan yang :
a)      Telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
b)      Telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan Mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait.
Dengan pendaftaran tersebut yayasan  tetap diakui sebagai badan hukum. Pengakuan sebagai badan hukum bukan berlangsung secara otomatis, namun terlebih dahulu yayasan harus memenuhi semua  persyaratan yang diwajibkan untuk  dilakukan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004. Persyaratanya adalah yayasan wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dengan ketentuan bahwa paling lambat 3 (tiga) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini telah melakukan penyesuaian (6 Oktober 2008).
Sementara itu, yayasan yang belum pernah terdaftar di Pengadilan Negeri  dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan anggaran dasarnya dan wajib mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 ( satu ) tahun sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan tersebut berlaku . Bila dalam batas waktu tersebut pendiri yayasan lalai menyesuaikan anggaran dasarnya dengan Undang-Undang Yayasan tersebut, maka yayasan tidak dapat diakui sebagai yayasan dan permohonan pengesahannya ditolak oleh Menteri Hukum Dan Hak Azazi Manusia.
Yayasan itu juga wajib memberitahukan kepada Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia setelah pelaksanaan penyesuaian anggaran dasarnya. Sangsi yang diberikan kepada yayasan yang tidak  menyesuaikan anggaran  dasarnya adalah yayasan dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Sejarah PerUndang-Undangan Tentang Yayasan
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, kedudukan Yayasan sebagai Badan Hukum (rechtspersoon) sudah diakui dan diberlakukan sebagai badan hukum, namun  status yayasan sebagai Badan Hukum dipandang masih lemah, karena tunduk pada  aturan-aturan yang bersumber dari kebiasaan dalam masyarakat atau yurisprudensi.
Pada saat itu masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status Badan Hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para Pendiri, Pengurus, dan Pengawas. Pada hal peranan yayasan di sektor sosial, pendididkan dan agama sangat menonjol, tetapi tidak ada satu Undang – Undang pun yang mengatur secara khusus tentang yayasan.
Yayasan, dalam bahasa Belanda disebut  Stichting, dalam KUHPerdata yang berlaku di Indonesia tidak terdapat pengaturannya. Istilah yayasan dapat dijumpai dalam beberapa ketentuan KUHPerdata antara lain dalam Pasal 365, Pasal 899, Pasal 900 dan Pasal 1680.
Dengan ketidakpastian hukum ini  yayasan sering  digunakan untuk menampung kekayaan para pendiri atau pihak lain, bahkan yayasan dijadikan tempat untuk memperkaya para pengelola yayasan. Yayasan tidak lagi bersifat nirlaba, namun yayasan digunakan untuk usaha – usaha bisnis dan komersial dengan segala aspek manifestasinya.
Dengan ketiadaan peraturan yang jelas ini, maka semakin berkembang dan bertumbuhanlah yayasan-yayasan di Indonesia dengan cepat, pertumbuhan ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan Undang-Undang yang mengatur bagi yayasan itu sendiri, sehingga masing-masing pihak yang berkepentingan menafsirkan pengertian yayasan secara sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka.
Dalam rangka menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi  sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat, maka pada tanggal 6 Agustus 2001 disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang mulai berlaku 1 (satu) tahun kemudian terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu  tanggal 6 Agustus 2002. Kemudian pada tanggal 6 Oktober 2004 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 disahkannya Undang -undang Nomor 28 Tahun 2004  tentang perubahan Undang -undang  Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Cepatnya perubahan atas Undang -undang yang mengatur tentang Yayasan ini menunjukkan bahwa masalah yayasan tidak sederhana dan badan hukum ini memang diperlukan oleh masyarakat.
Undang -undang Nomor 28 Tahun 2004 ini tidak mengganti Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Perubahan ini hanya sekedar mengubah sebagian Pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Jadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tidak mengubah seluruh Pasal yang ada didalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.

Undang-Undang ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan berdasarkan prinsip keterbukaaan dan akuntabilitas.. Undang-Undang ini menegaskan bahwa yayasan adalah suatu badan hukum yang  mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan diharapkan akan menjadi dasar hukum yang kuat dalam mengatur kehidupan yayasan.

Tata Cara Pendirian Yayasan
Sebelum berlakunya Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, belum ada keseragaman tentang cara mendirikan yayasan. Pendirian yayasan hanya didasarkan pada kebiasaan dalam masyarakat, kerena belum ada peraturan Undang-Undang yang mengatur tentang cara mendirikan yayasan.
Di dalam hukum perdata, pembentukan yayasan terjadi dengan surat pengakuan (akta) diantara para pendirinya, atau dengan surat hibah/wasiat yang dibuat dihadapan notaris. Dalam surat-surat itu ditentukan maksud dan tujuan, nama, susunan dan badan pengurus, juga adanya kekayaan yang mewujudkan yayasan tersebut.
Sehingga Pendirian suatu yayasan di dalam hukum perdata disyaratkan dalam dua aspek yaitu:
1)      Aspek material:
*  Harus ada suatu pemisahan kekayaan
*  Suatu tujuan yang jelas
*  Ada organisasi (nama,susunan dan badan pengurus)
2)       Aspek formal, pendirian yayasan dengan akta otentik

Pada saat sebelum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan berlaku, umumnya yayasan didirikan selalu dengan akta notaris, baik yayasan yang didirikan oleh pihak swasta atau oleh pemerintah. Yayasan yang didirikan oleh badan-badan pemerintah dilakukan dengan suatu surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk itu atau dengan akta notaris sebagai syarat terbentuknya suatu yayasan. Namun para pengurus dari yayasan tersebut tidak diwajibkan untuk mendaftarkan dan mengumumkan akta pendiriannya, juga pengesahan yayasan sebagai badan hukum ke Menteri Kehakiman pada saat itu. Ketiadaan aturan ini menimbulkan ketidak seragaman di dalam pendirian yayasan.
Hal inilah yang menyebabkan masih  banyaknya yayasan yang belum didaftarkan sebagai badan hukum karena tidak ada aturan hukum yang memaksa pada saat sebelum Undang-Undang Yayasan ada di Indonesia.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, maka suatu yayasan dapat didirikan dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
Ada tiga proses yang perlu diperhatikan dalam pendirian yayasan yaitu :
a)      Proses Pendirian Yayasan
b)      Proses Pengesahan Akta Yayasan
c)      Proses Pengumuman Yayasan Sebagai Badan Hukum

Tujuan dan Kegiatan Yayasan
Yayasan adalah kumpulan dari sejumlah orang yang terorganisasi dan dilihat dari segi kegiatannya, lebih tampak sebagai lembaga sosial. Dari sejak awal, sebuah yayasan didirikan bukan untuk tujuan komersial atau untuk mencari keuntungan, akan tetapi tujuannya tidak lebih dari membantu atau meningkatkan  kesejahteraan hidup orang lain.
Keberadaan yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat, yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Dengan adanya yayasan, maka segala keinginan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, itu diwujudkan di dalam suatu lembaga yang diakui dan diterima keberadaannya.
Keberadaan Yayasan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, menimbulkan berbagai kontroversi sebab yayasan yang pada dasarnya bertujuan untuk  kepentingan masyarakat, seringkali justru dijadikan wadah melakukan perbuatan melanggar hukum. Yayasan yang demikian, umumnya telah menyimpang dari maksud dan tujuan yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya. Usaha yang semula difokuskan pada usaha yang bersifat sosial dan kemanusiaan itu dibelokkan arahnya sehingga kepentingan individulah yang diprioritaskan. Selain itu, beberapa yayasan melakukan usaha layaknya badan usaha yang bertujuan mengejar keuntungan. Dengan mengejar keuntungan, Yayasan itu umumnya tidak segan untuk melakukan tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan kepentingan umum.
Dengan bergesernya fungsi yayasan menjadi suatu badan usaha mengakibatkan tujuan aslinya menjadi kabur, salah arah, dan hampir-hampir tidak terkendali. Tampak disini yayasan digunakan untuk menjalankan usaha bisnis dan komersial dengan segala aspek manifestasinya.
Dengan ketiadaan peraturan yang jelas ini, maka semakin berkembang dan bertumbuhanlah yayasan-yayasan di Indonesia dengan cepat, pertumbuhan mana tidak diimbangi dengan pertumbuhan peraturan dan pranata yang memadai bagi yayasan itu sendiri, sehingga masing-masing pihak yang berkepentingan menafsirkan pengertian yayasan secara sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka.
Dalam rangka menjamin kepastian  dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akutabilitas kepada masyarakat, maka pada tanggal 6 Agustus 2001 disahkan Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 yang mulai berlaku sejak tanggal 6 Agustus 2002 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 dan berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2005.
Pengundangan Undang-Undang Yayasan  ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan, sehingga dapat mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Tujuan dari Undang-Undang ini, memberikan pemisahan antara peran yayasan dan peran suatu badan usaha yang didirikan, dalam hal ini yayasan sebagai pemegang saham dalam suatu badan usaha tersebut karena adanya penyertaan modal maksimal 25% dari kekayaan yayasan, agar tidak terjadi benturan kepentingan dan tumpang tindih kepentingan, terlebih bila terjadi masalah yang timbul jika ada larangan terhadap organ yayasan.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan jelas menegaskan bahwa Yayasan harus bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Pada pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001  memperkenankan yayasan untuk melakukan  kegiatan usaha ataupun mendirikan suatu badan usaha. Pasal 3 ayat  (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 menyebutkan :
“Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan atau ikut serta dalam suatu badan usaha”.
Pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 ketentuan pada Pasal (3) ini tidak diubah tetapi penjelasan pasal ini mempertegas bahwa yayasan tidak dapat digunakan sebagai wadah usaha. Dengan perkataan lain yayasan tidak dapat langsung melakukan kegiatan usaha, tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana yayasan mengikut sertakan kekayaannya.
Pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001  menyebutkan bahwa :
“Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan”.
Dari pasal diatas dapat disimpulkan  bahwa yayasan harus bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan, dimana yayasan boleh melakukan kegiatan usaha asalkan laba yang diperoleh dari hasil usaha tersebut dipergunakan dan diperuntukkan  untuk tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Usaha yang memperoleh laba ini diperlukan agar yayasan tidak tergantung selamanya pada bantuan dan sumbangan pihak lain. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 200 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 menyebutkan bahwa:
“Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perUndang-Undangan yang berlaku”.
Dalam penjelasan Pasal 8 (delapan)  ini, dijelaskan bahwa cakupan kegiatan usaha yayasan menyangkut Hak Asasi Manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Dari penjelasan itu, kita dapat menyatakan bahwa tujuan dari sebuah yayasan adalah meningkatkan derajat hidup orang banyak  atau mensejahterakan masyarakat. Mengentaskan kemiskinan, memajukan  kesehatan, dan memajukan pendidikan merupakan kegiatan usaha yang harus menjadi prioritas bagi yayasan.
Semua tujuan yayasan diharapkan berakhir pada aspek kepentingan umum/ kemanfaatan publik sebagaimana maksud dan tujuan yayasan yang seharusnya. Sebagai perbandingan di Inggris difinisi dari tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan ini, sering kali dikaitkan dengan pengertian  charity atau sosial Di Inggris  dalam  Charitable Uses Acts of 1601 mengemukakan ada 4 klasifikasi dari  Charity yaitu :
1.      mengatasi kemiskinan (The Relief Of Poverty),
2.      memajukan pendidikan (The Advancement of Education),
3.      memajukan agama (The Advancement Of religion),
4.      tujuan-tujuan lain untuk kepentingan umum (And Other Purpose of Beneficial to The Community).
Pada klasifikasi diatas mencakup aspek kepentingan umum atau kemanfaatan bagi publik umumnya. Jadi, suatu sumbangan atau kegiatan bersifat  charitable (sosial) dan kemanusiaan bila ia bermanfaat untuk masyarakat pada umumnya.
Yayasan tujuannya bersifar sosial, keagamaan dan kemanusiaan, namun Undang-Undang tidak melarang yayasan untuk menjalankan kegiatan usaha. Namun tidak semata-mata untuk mencari laba, seperti yayasan yang mengusahakan poliklinik atau rumah sakit. Undang-Undang menghendaki rumah sakit atau poliklinik berbentuk yayasan, namun jika dilihat dari kegiatan usahanya, rumah sakit atau poliklinik ditujukan juga untuk mencari laba, namun tujuan yayasan itu bersifat sosial dan kemanusiaan. Jadi disini rumah sakit tidak dapat dikatagorikan untuk mencari keuntungan tetapi bertujuan untul sesuatu yang idiil atau filantropis atau amal walaupun tidak mustahil yayasan itu mendapat keuntungan.
Yayasan sebagai  philantropis adalah suatu kegiatan yang diminati menuju kesejahteraan masyarakat. Arti dari  philantropis itu adalah kedermawanan sosial, yang dijalankan dalam kerangka kesadaran dan kesepakatan perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan. Contoh lain dalam pencapaian nilai philantropis pada yayasan adalah melalui yayasan yang dirikan oleh perusahaan atau group perusahaan. untuk pencapaian program Corporate Social Responcibility (CSR). Perusahaanlah yang menyediakan modal awal, dana rutin atau dana abadi pada yayasan yang didirikannya. Yayasan ini lah yang menjalankan program CSR perusahaan yang terdorong untuk menolong sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial.
Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, diterangkan bahwa kegiatan usaha yayasan penting dilakukan dalam rangka tercapainya maksud dan tujuan yayasan. Agar yayasan bisa melakukan kegiatan usaha, yayasan memerlukan wadah atau sarana. Untuk itu, yayasan diperbolehkan mendirikan badan usaha supaya bisa melaksanakan kegiatan usahanya,. Bahwa ketika mendirikan badan usaha, yayasan harus mengutamakan pendirian badan usaha yang memenuhi hajat hidup orang banyak, misalnya badan usaha yang bergerak dibidang penanganan Hak Asasi Manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan dapat kita lihat bahwa disini bidang-bidang usaha tersebut selalu berorientasi pada kepentingan publik. Di samping itu, dalam mendirikan badan usaha tersebut organ yayasan perlu mempertimbangkan beberapa hal berikut yaitu: badan usaha tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, badan usaha tidak melanggar kesusilaan, badan usaha itu tidak melanggar aturan dan ketentuan yang berlaku pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.

 Kesimpulan
*  Pendirian suatu yayasan di Indonesia, sebelum adanya Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan hanyalah berdasarkan kebiasaan yang hidup  dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung. Proses pendirian yayasan yang mudah mendorong orang untuk mendirikan yayasan dalam menjalankan kegiatan mereka. Oleh karenanya yayasan berkembang di masyarakat tanpa ada  aturan yang jelas, banyak yayasan disalahgunakan dan menyimpang dari tujuan semula yaitu bidang sosial kemanusiaan. Sedangkan status hukumnya sebagai badan hukum masih sering dipertanyakan oleh banyak pihak, karena keberadaan yayasan sebagai subyek hukum belum mempunyai kekuatan hukum yang tegas dan kuat.
*  Di dalam hukum perdata, pembentukan yayasan terjadi dengan surat pengakuan (akta) diantara para pendirinya, atau dengan surat hibah/wasiat yang dibuat dihadapan notaris. Dalam surat-surat itu ditentukan maksud dan tujuan, nama, susunan dan badan pengurus, juga adanya kekayaan yang mewujudkan yayasan tersebut.
*  Yayasan adalah kumpulan dari sejumlah orang yang terorganisasi dan dilihat dari segi kegiatannya, lebih tampak sebagai lembaga sosial. Dari sejak awal, sebuah yayasan didirikan bukan untuk tujuan komersial atau untuk mencari keuntungan, akan tetapi tujuannya tidak lebih dari membantu atau meningkatkan  kesejahteraan hidup orang lain.
*  Yayasan tujuannya bersifar sosial, keagamaan dan kemanusiaan,namun Undang-Undang tidak melarang yayasan untuk menjalankan kegiatan usaha.

                    IV.            BADAN USAHA MILIK NEGARA

Pengertian BUMN
BUMN atau Badan Usaha Milik Negara merupakan badan yang dimiliki oleh negara. Pengertian Badan Usaha Milik Negara Secara umum (BUMN) adalah badan usaha yang seluruhnya atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Berdasarkan UU Republik Indonesia No.19 Tahun 2003).
BUMN merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, disamping badan usaha swasta (BUMS) dan koperasi. BUMN berasal dari kontribusi dalam perekonomian indonesia yang berperan menghasilkan berbagai barang dan jasa guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. BUMN terdapat dalam berbagai sektor seperti sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, keuangan, manufaktur, transportasi, pertambangan, listrik, telekomunikasi dan perdagangan serta kontruksi.

Fungsi Badan Usaha Milik Negara
*  Sebagai penyedia barang ekonomis dan jasa yang tidak disedikan oleh swasta
*  Merupakan alat pemerintah dalam menata kebijakan perekonomian
*  Sebagai pengelola dari cabang-cabang produksi sumber daya alam untuk masyarakat banyak
*  Sebagai penyedia layanan dalam kebutuhan masyarakat
*  Sebagai penghasil barang dan jasa demi pemenuhan orang banyak
*  Sebagai pelopor terhadap sektor-sektor usaha yang belum diminati oleh pihak swasta,
*  Pembuka lapangan kerja
*  Penghasil devisa negara
*  Pembantu dalam pengembangan usaha kecil koperasi,
*  Pendorong dalam aktivitas masyarakat terhadap diberbagai lapangan usaha.

Bentuk-Bentuk BUMN
BUMN memiliki berbagai macam atau jenis bentuk-bentuk yang berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Badan Usaha Milik Negara terdiri dari dua bentuk, yaitu badan usaha perseroan (persero) dan badan usaha umum (perum). Penjelasan kedua bentuk BUMN adalah sebagai berikut :
a)      Badan Usaha Perseroan (Persero)
Badan usaha perseroan (persero) adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Maksud dan Tujuan  Badan Usaha Perseroan (Persero)
*  Menyediakan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan berdaya sang kuat
*  Mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai badan usaha.
Contoh - Contoh Badan Usaha Perseroan (Persero)
*  PT Pertamina,
*  PT Kimia Farma Tbk
*  PT Kereta Api Indonesia
*  PT Bank BNI Tbk
*  PT Jamsostek
*  PT Garuda Indonesia
*  PT Perubahan Pembangunan
*  PT Telekomunikasi Indonesia
*    PT Tambang Timah
Ciri-Ciri Badan Usaha Perseroan (Persero)
*  Dalam pendirian persero diusulkan oleh menteri kepada presiden
*  Pelaksanaan pendirian yang dilakukan oleh menteri berdasarkan Perundang - undangan
*  Modal berbentuk saham
*  Status perseroan terbatas diatur berdasarkan perundang-undangan
*  Sebagian atau keseluruhan modal merupakan milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan
*  Tidak mendapatkan fasilitas dari negara
*  Pegawai persero berstatus pegawai negeri
*  Pemimpin berupa direksi
*  Organ persero yaitu RUPS, direksi dan komisaris
*  Hubungan-hubungan usaha diatur dalam hukum perdata
*  Tujuan utamanya adalah mendapatkan keuntungan

b)     Badan Usaha Umum (Perum)
Badan usaha umum (perum) adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham. Badan usaha umum memiliki maksud dan tujuan yang didukung menurut persetujuan menteri adalah melakukan penyertaan modal dalam usaha yang lain.
Maksud dan Tujuan Badan Usaha Umum (Perum)
Menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyedia barang dan jasa berkualitas dengan harga yang dapat dijangkau masyarakat menurut prinsip pengelolaan badan usaha yang sehat.
Contoh-Contoh Badan Usaha Umum (Perum)
*  Perum Damri
*  Perum Bulog
*  Perum Pegadaian
*  Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri)
*  Perum Balai Pustaka
*  Perum Jasatirta
*  Perum Antara
*  Perum Peruri
*  Perum Perumnas
Ciri-Ciri Badan Usaha Umum (Perum)
*  Melayani kepentingan masyarakat yang umum
*  Pemimpin berupa direksi atau direktur
*  Pekerja merupakan pegawai perusahaan dari pihak swasta
*  Dapat menghimpun dana dari pihak
*  Pengelolaan dari modal pemerintah yang terpisah dari kekayaan negara
*  Menambah keuntungan kas negara
*  Modal berupa saham atau obligasi bagi perusahaan go public
Manfaat Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
*  Memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam memperoleh kebutuhan hidup berupa barang dan jasa
*  Membuka dan memperluas lapangan pekerjaan bagi penduduk angkatan kerja
*  Mencegah monopoli pihak swasta dipasar dalam pemenuhan barang dan jasa
*  Meningkatkan kuantitas dan kualitas dalam komiditi ekspor berupa penambah devisa baik migas maupun non migas.
*  Mengisi kas negara yang bertujuan memajukan dan mengembangkan perekonomian negara.





REFERENSI :  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar