PENDAHULUAN
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang
paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah
terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa
kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang hampir
gulung tikar atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang
jatuh tempo pada tahun 1998, dan tidak lama lagi akan menghasilkan ribuan pengangguran
baru dengan sederet persoalan Sosial, Ekonomi, dan Politik yang baru pula.
Sejak kemerdekaan hingga saat ini,
Indonesia telah mengalami beberapa fase pemerintahan. Salah satunya adalah
zaman pemerintahan orde baru hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya. Pada pemerintahan ini, dapat dikatakan bahwa ekonomi Indonesia
berkembang pesat. Dengan kembali membaiknya hubungan politik dengan
negara-negara barat dan adanya kesungguhan pemerintah untuk melakukan
rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal mulai masuk kembali ke
Indonesia. PMA dan bantuan luar negeri setiap tahun terus meningkat. Sasaran
dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi
defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, terutama
ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa orde lama. Indonesia juga
sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni Negara-negara yang tingkat
prekonomiannya sangat tinggi.
Namun disamping kelebihan-kelebihan
tersebut, terdapat kekurangan dalam pemerintahan orde baru. Kebijakan-kebijakan
ekonomi masa orde baru memang telah membuat pertumbuhan ekonomi meningkat
pesat, tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang
rapuh. Hal ini dapat dilihat pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional
dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk
pinjaman dan impor. Inilah yang akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis
ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada
pertengahan tahun 1997. Kecenderungan melemahnya rupiah semakin menjadi ketika
terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan aksi
penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998.
Sejak berdirirnya orde baru tahun
1966-1998, terjadi krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang berkembang
menjadi suatu krisis ekonomi yang besar. Krisis pada tahun ini jauh lebih parah
dan kompleks dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yang pernah dialami
oleh Indonesia. Hal ini terbukti dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden. Kerusuhan
Mei 1998, menghancurkan sektor perbankan dan indikator-indikator lainnya, baik
ekonomi, sosial, maupun politik. Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab
suatu krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi yang besar, yakni
terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih dari 200% dan
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.
PEMBAHASAN
A.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KRISIS
Ada asap pasti ada api. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa sesuatu yang
terjadi, itu pasti ada penyebabnya. Begitu pula dengan adanya krisis yang
terjadi, pasti ada faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Analisis
dari faktor-faktor ini diperlukan, karena untuk menangani krisis tersebut
tergantung dari ketepatan diagnosa.
Tabel Pertumbuhan ekonomi dari tahun
1984 – 1999.
Menjelang
meletupnya krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis keuangan pada pertengahan
tahun 1997, Indonesia termasuk di antara beberapa negara berkembang yang
dinilai sebagai sangat berhasil dalam pembangunannya. Ekonomi Indonesia
termasuk di beberapa negara Asia yang mengalami kemajuan sedemikian rupa sehingga
disebut sebagai miracle. Indonesia
sering dijadikan contoh untuk negara-negara berkembang lain bagi program-program yang
dianggap berhasil, seperti
dalam bidang keluarga berencana dan penanggulangan kemiskinan.
Beberapa indikator makro kondisi ekonomi Indonesia beberapa saat sebelum krisis
dapat diangkat kembali sebagai bukti.
Peningkatan pendapatan per
kapita.
Dalam kurun waktu tiga puluh tahun,
sejak tahun1965 sampai 1995, PDB per kapita secara riil mengalami pertumbuhan
rata-rata sebesar 6,6% setiap tahunnya. Pada pertengahan tahun 1960-an
Indonesia lebih miskin dari India, kemudian pada pertengahan tahun 1990-an PDB
per kapita Indonesia melampaui US$ 1.000 yang berarti lebih dari tiga kalinya
India (World Bank 1997). Untuk melihat perbandingan pertumbuhan PDB per kapita
Indonesia dengan India, bisa dilihat table berikut.
Tabel PDB per kapita
Indonesia dari tahun 1965 – 1995.
Tabel
PDB per kapita India dari tahun 1965 – 1995.
Penurunan laju inflasi.
Sekitar awal tahun
1960 sampai akhir tahun 1960-an Indonesia mengalami inflasi yang luar
biasa tinggi bahkan pernah sampai 600%, tetapi sejak itu lambat laun
dapat dikendalikan. Sampai dengan tahun-tahun terakhir sebelum terjadinya
krisis (1997) , Indonesia berhasil menekan laju inflasinya pada angka satu
digit saja. Tetapi, pada awal tahun 1998 laju inflasi Indonesia mulai tidak
terkendali, sampai akhirnya terjadi krisis pada pertengahan tahun 1998. Pada
awal tahun 1999 setelah krisis berakhir tingkat inflasi mulai bisa dikendalikan
dan pada akhir 1999 tingkat inflasi sudah kembali normal pada angka satu digit.
Tabel
laju inflasi Indonesia tahun 1997 – 2000.
Peningkatan pendapatan petani dan tercapainya swasembada pangan.
Berbagai kebijakan dan langkah
pembangunan yang telah berhasil mengendalikan inflasi dan meredam fluktuasi
harga barang, dibarengi dengan investasi yang strategis dalam peningkatan
produktivitas pertanian. Dengan demikian kebijakan itu telah meningkatkan
pendapatan petani dan masyarakat di pedesaan, sekaligus menciptakan stabilitas
harga beras yang menjadi makanan pokok rakyat Indonesia. Peningkatan pendapatan
masyarakat di tingkat bawah ini telah mendorong tumbuhnya berbagai
industri, baik industri kecil maupun industri besar. Juga telah kita
saksikan berkembangnya ekonomi rakyat yang ternyata cukup tangguh dalam
menghadapi berbagai gejolak ekonomi.
Peningkatan output manufaktur dalam sumbangannya terhadap PDB.
Peran industri pengolahan dalam PDB
mengalami kenaikan yang sangat berarti, dari 7,6% pada tahun 1973 menjadi
hampir 25% pada tahun 1995. Hal ini khususnya didorong oleh pertumbuhan ekspor
produk-produk olahan seperti garment
(pakaian jadi), produk kain dan alas kaki, barang-barang elektronik dan
kayu lapis. Ekspor non migas, yang kini telah menjadi bagian terbesar dari
produk industri pengolahan kita, mengalami kenaikan sekitar 22% setiap tahunnya
selama satu dekade penuh, yaitu sejak tahun 1985 ketika deregulasi diberlakukan
untuk pertama kalinya sampai dengan tahun 1995, dan kenaikan ini adalah empat
kali lebih cepat dibandingkan dengan rata-rata kenaikan perdagangan dunia
(Stern 2000).
Penurunan tingkat kemiskinan
Persentase penduduk yang hidup di
bawah garis kemiskinan nasional mengalami penurunan secara dramatis, yaitu dari
sekitar 69% pada tahun1970 menjadi 49% pada tahun 1976 kemudian menjadi 15%
pada tahun 1990 dan mencapai11,5% pada tahun 1996. Sebelum terjadinya krisis,
diperkirakan bahwa menjelang tahun 2005, ketika PDB per kapita Indonesia
mencapai US$2.300, dan ketika Indonesia layak disebut sebagai a middle-income industrialized country,
angka kemiskinan akan menurun secara tajam menjadi kurang dari 5%, atau
kira-kira sama tingkatannya dengan newlyindustrialized
country lainnya. Berdasarkan salah satu dokumen Bank Dunia (1997), di
antara negara-negara sedang berkembang Indonesia dinyatakan sebagai salah satu
negara yang paling cepat mengurangi angka kemiskinannya. Prestasi ini diperoleh
setelah kita melakukan upaya pembangunan di berbagai bidang dengan strategi
pertumbuhan yang berorientasi padat karya dan didukung oleh pembangunan sumber daya
manusianya, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Pada waktu yang
bersamaan, upaya tersebut telah meningkatkan pendapatan riil masyarakat dengan cepat,
sama cepatnya dengan peningkatan PDB perkapita.
Lalu
setelah itu, krisis pun datang dan bergejolak di Indonesia. Berikut ini
Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997 - 1998 :
1. Jumlah hutang luar negeri
swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan
kondisi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang
berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi
maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan
hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra
hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan
senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang
yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki
mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang
swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992
sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia
berasal dari pinjaman swasta (Data Bank Dunia, 1998). Hal ini mirip dengan yang
terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal,
boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa
demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada
perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki
surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki
sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah
menyebabkan net capital inflows atau
arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing,
dan equity purchases) ke
wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih
dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal
yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang
produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan
konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor
perumahan (real estate). Di
sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi,
tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang
terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain
itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi,
tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi
bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga
keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan”
yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly
and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan
aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi
“kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”.
Di tengah pusaran (virtous circle) yang
semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi
menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut
memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat
krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan,
dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo
kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
2. Banyaknya kelemahan dalam sistem
perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah
hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri
dan melemahnya angka rupiah yang menyebabkan krisis moneter.
Sebagian
besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962 - 1966
kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita. Defisit
anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI
meningkat tajam dari 63% dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi 127%
tahun 1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga
disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri, yang
kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi. Disamping
itu, pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS naik dua atau tiga kali lipat. Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif
dan pelarian modal ke luar negeri. Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia
pada masa itu.
Bulan September 1984, Indonesia
mengalami krisis perbankan, yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983
yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko
kredit macet,serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga, baik deposito
berjangka maupun kredit (Nasution,1987). Masalah-masalah tersebut terus
berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997.
Mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah
tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan.
Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang
melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya
sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria
layak kredit. Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan di sektor perbankan
dan pasar modal.
Kebijakan-kebijakan
tersebut antara lain kemudahan membuka bank baru, pemberian ijin kepada bank
asing beroperasi di Jakarta, penghapusan batas kredit, dan mengijinkan investor
asing memiliki saham domestik. Paket kebijakan itu diantaranya adalah Paket 27
Oktober 1988 . Paket itu adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah
perbankan Indonesia. Hanya dengan modal Rp 10 milyar, siapa saja bisa
mendirikan bank baru. Paket Oktober 1988 (Pakto 88) dianggap telah banyak
mengubah kehidupan perbankan nasional. Keberhasilan itu dinyatakan dalam angka-angka
absolut seperti pada jumlah bank, kantor cabang, jumlah dana yang dihimpun,
jumlah kredit yang disalurkan, tenaga kerja yang mampu dipekerjakan, serta
volume usaha dalam bentuk aset dan hasil-hasilnya. Pada waktu yang bersamaan
banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau
kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti,
ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu
menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban
langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli
1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak
perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan
sembako semakin langka. Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi
Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank
Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar
dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
Berikut Tabel Pertumbuhan
ekonomi, Tingkat inflasi, dll.
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
|
|
Pertumbuhan ekonomi (%)
|
7,24
|
6,95
|
6,46
|
6,50
|
7,54
|
8,22
|
7,98
|
4,65
|
Tingkat Inflasi (%)
|
9,93
|
9,93
|
5,04
|
10,18
|
9,66
|
8,96
|
6,63
|
11,60
|
Neraca pembayaran (US$)
|
2,099
|
1,207
|
1,743
|
741
|
806
|
1,516
|
4,451
|
-10,021
|
Neraca perdagangan
|
5,352
|
4,801
|
7,022
|
8,231
|
7,901
|
6,533
|
5,948
|
12,964
|
Neraca berjalan
|
-3,24
|
-4,392
|
-3,122
|
-2,298
|
-2,96
|
-6,76
|
-7,801
|
-2,103
|
Neraca modal
|
4,746
|
5,829
|
18,111
|
17.972
|
4,008
|
10,589
|
10,989
|
-4,845
|
Pemerintah (neto)
|
633
|
1,419
|
12,752
|
12,753
|
307
|
336
|
-522
|
4,102
|
Swasta (neto)
|
3,021
|
2,928
|
3,582
|
3,216
|
1,593
|
5,907
|
5,317
|
-10,78
|
PMA (neto)
|
1,092
|
1,482
|
1,777
|
2,003
|
2,108
|
4,346
|
6,194
|
1,833
|
Cadangan devisa akhir
tahun (US$)
|
8,661
|
9,868
|
11.611
|
12,352
|
13,158
|
14,674
|
19,125
|
17,427
|
(bulan impor nonmigas
c&f)
|
4,7
|
4,8
|
5,4
|
5,4
|
5,0
|
4,3
|
5,2
|
4,5
|
Debt-service ratio (%)
|
30,9
|
32,0
|
31,6
|
33,8
|
30,0
|
33,7
|
33,0
|
|
Nilai tukar Des.
(Rp/US$)
|
1,901
|
1,992
|
2,062
|
2,11
|
2,2
|
2,308
|
2,383
|
4.65
|
APBN* (Rp.milyar)
|
3,203
|
433
|
-551
|
-1,852
|
1,495
|
2,807
|
818
|
456
|
*Tahun anggaran
Sumber : BPS,Indikator
ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar
AS yang mulai merosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan
empat kali intervensi dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya
tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus
1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00
menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi
dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang
nilai rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret
1988 nilai rupiah mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun
sebelumnya, antara bulan Januari dan Februari sempat menembus Rp11.000,00
rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai
antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan
September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS
berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama
periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998, depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan mata uang-mata
uang Negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi terhadap dolar
AS selama periode tersebut.
Negara
|
US$/100 Uang lokal
6/30’97
|
12/31’97
|
Perubahan (%)
6/30-12/31
|
5/8’98
|
Perubahan (%)
1/1-5/8’98
|
Perubahan Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
|
Thailand
|
4,05
|
2,08
|
-48,7
|
2,59
|
24,7
|
-36
|
Malaysia
|
39,53
|
25,70
|
-35,0
|
26,25
|
2,1
|
-33,6
|
Indonesia
|
0,04
|
0,02
|
-44,0
|
0,01
|
-53,0
|
-73,8
|
Filipina
|
3,79
|
2,51
|
-33,9
|
2,54
|
1,3
|
-33,0
|
Hongkong
|
12,90
|
12,90
|
0,0
|
12,90
|
0,0
|
0,0
|
Korea Selatan
|
0,11
|
0,06
|
-47,7
|
0,07
|
21,9
|
-36,2
|
Taiwan
|
3,60
|
3,06
|
-14,8
|
3,10
|
1,2
|
-13,8
|
Singapura
|
69,93
|
59,44
|
-15,0
|
61,80
|
4,0
|
-11,6
|
Sumber :Goldstein (1998)
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997
terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian,
BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar valuta asing, sehingga nilai tukar
ditentukan oleh kekuatan pasar.
3. Sejalan dengan makin tidak jelasnya
arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang
menjadi persoalan ekonomi pula.
Hill
(1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan
intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau
menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis.
Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di
Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan
maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya
siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini.
Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak
terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam,
maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu
mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan
pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu
berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling
utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis
kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi
modal baru.
4. Perkembangan situasi politik
telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar
dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Faktor ini merupakan hal yang paling
sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik telah
mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan
berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi
penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas
adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi masyarakat,
bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan
pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan
yang terpercaya (credible).
5. Krisis ekonomi yang berawal dari Thailand dan
berdampak pada perekonomian di Negara Negara
Asean.
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya
pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis di beberapa negara,
seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski
waktunya tidak dapat dipastikan. Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit
neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara
pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa
terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok
terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar
dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga
banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat
rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir
adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan
Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan
sangat rendah.
Dari tahun 1985 ke tahun 1995,
Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge Amerika telah
menjual $400 juta mata uang Thai. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25
bath per dollar AS. Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath
Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing
mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi terhadap prospek
perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk mempertahankan
nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi yang
didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank
Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan
dollar AS dan meminta bantuan IMF. Pengumuman ini menyebabkan nilai bath
terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath
per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh
dari krisis.Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah. Nilai
tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah,
banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.
Krisis moneter yang terjadi di
Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina,
Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand,
nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan
nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia
terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan
Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00
menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia
mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik
swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau
dan cadangan devisa semakin menipis. Perusahaan yang tadinya banyak meminjam
dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau
membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan
harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi.
IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki
keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalam penggunaannya
banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus
ditanggung oleh rakyat Indonesia.
Indikator-indikator
Makro ekonomi Indonesia Sebelum Krisis Finansial Asia
Indikator
Makro Ekonomi Tahun Besaran
Indikator makro ekonomi
|
Tahun
|
Besaran
|
Pertumbuhan domestic bruto (PDB)
perkapita
|
1975
|
USD 265
|
|
1997
|
USD 785
|
Perkembangan nilai investasi
|
1990 – 1996
|
11,5 %
|
Aliran modal
|
1996
|
USD 6.194 miliar
|
Pergerakan nilai tukar
|
1996
|
Rp 2342,3
|
Tingkat inflasi
|
1996
|
7,9%
|
PEBANDINGAN
NILAI MATA UANG
Mata Uang
|
Periode
|
Sistem Kurs
|
Baht
|
Sebelum 1963
|
Kurs|Mengambang
|
|
1973
|
Kurs Tetap
|
|
1984-1997
|
Kurs Mengembang Terkontrol
|
|
1997
|
Kurs Mengembang
|
Rupiah
|
1971-Maret 1983
|
Sitem nilai tukar tetap
|
|
April 1983-Sep 1986
|
Sistem nilai tukar mengambang
terkendali secara ketat
|
|
Sep 1986-agt 1997
|
Sistem nilai tukar mengambang
fleksible
|
|
14 agustus 1997
|
Sistem nilai tukar mengambang bebas
|
6.
Harga minyak bumi tidak stabil
Fluktuasi
harga minyak bumi yang sulit diprediksi dan kecenderungan menurunnya harga
minyak bumi di pasar dunia pada awal 1980, telah mendorong pemerintah untuk mengalihkan
ketergantungan perekonomian dari sektor migas ke sektor non migas. Terkait dengan
hal tersebut pemerintah melakukan deregulasi di bidang industrialisasi, antara
lain memberi kelonggaran bagi investor asing di bidang ekspor-impor, menurunkan
tarif bea masuk impor bahan baku dan barang modal, menyederhanakan prosedur
ekspor impor, dan memberikan fasilitas drawback system pada impor bahan
baku dan barang modal yang digunakan untuk ekspor.
B.
DAMPAK KRISIS TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
Sejak
bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa
dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu
masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut. Dampak negatif yang
ditimbulkan antara lain, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1
Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi
40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi
manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah tersebut. Dampak negatif
lainnya adalah kepercayaan internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan
milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang
akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena
banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya,
kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi
yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional,
khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997.
Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup
semakin tinggi.
Meningkatnya
ekspor dan investasi telah mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat
pesat hingga mencapai rata-rata diatas 7% sejak tahun 1989-1996. Kuatnya
fundamental ekonomi menjadi daya tarik bagi investor asing untuk menanamkan
modal di Indonesia. Hal tersebut telah mendorong peningkatan utang swasta berjangka
pendek maupun jangka panjang hingga mencapai sekitar 157% terhadap PDB pada
tahun 1998. Sayangnya utang-utang tersebut tidak dimanfaatkan pada sektor yang
produksif seperti industry komoditas ekspor, tetapi justru ditanamkan pada
sektor-sektor kurang produktif seperti konsumsi, real estate, dan lainnya.
Sedangkan kinerja ekspor justru mengalami perlambatan sebagai dampak dari
menguatnya nilai tukar rupiah.
Tabel Pergerakan Rasio Utang Luar Negeri 1990-1999.
Di sektor perbankan, mekanisme pengawasan tidak
efektif dan tidak mampu mengikuti pesatnya pertumbuhan sektor perbankan. Sehingga
banyak industry bank yang tidak sehat. Dengan longgarnya peraturan perbankan,
pertumbuhan bank baru masih berlanjut hingga tahun 1994. Dan itulah yang membuat
ekspansi kredit makin gencar. Pada tahun 1995, misalnya, di sektor properti
saja sudah dikucurkan kredit sekitar Rp 41 triliun. Sementara itu, bank asing
juga diizinkan membuka cabang di enam kota besar. Bahkan bentuk patungan bank
asing dan swasta nasional juga diizinkan. Dengan demikian, monopoli dana BUMN
oleh bank-bank milik Negara terhapuskan. Beberapa bank berubah menjadi bank
devisa karena syaratnya kelewat lunak. Meledaknya jumlah bank itu dikuti dengan
kompetisi sengit dalam perekrutan tenaga kerja. Juga dalam hal mobilisasi dana
deposito dan tabungan. Di sisi lain, ada perlombaan sengit untuk mengucurkan
kredit dan pinjaman. Yang terjadi adalah kehati-hatian dan keamanan dalam
menyalurkan kredit menjadi terabaikan. Akibatnya pasti, kredit macet menggunung.
Beberapa dampak Pakto 88 pada sektor perbankan adalah pertama bank-bank banyak
dikuasai para konglomerat sehingga suburlah praktek insider lending alias
pemberian kredit untuk kelompok usaha mereka sendiri. Dampak lainnya adalah
tingginya suku bunga. Bahkan ada bank swasta yang berani memasang tarif 30 %
setahun. Suku bunga tidak lagi ditentukan kekuatan pasar, akibat mekanisme
kredit makin tidak sempurna dengan adanya alokasi kredit untuk kalangan
sendiri. Kredit macet makin tak terkendali. Selain itu pemilik bank memperkuat
status-quo kesenjangan penguasaan sumber ekonomi dalam masyarakat serta
investasi banyak dikucurkan ke sektor mewah, misalnya apartemen, perkantoran
mewah, dan lapangan golf.
Ketika
rupiah terdepresiasi cukup tajam sebagai dampak dari krisis finansial di
Thailand, sektor perbankan tidak mampu menjadi menahan krisis, justru menjadi
korban karena neracanya tidak sehat. Hal tersebut ditambah dengan perubahan
politik yang tidak jelas arahnya, akhirnya berkembang menjadi krisis kepercayaan.
Hal ini telah mendorong terjadinya capital outflow, sehingga rupiah semakin
terpuruk bahkan pernah menyentuh level Rp 16000/US$ pada awal tahun 1998.
Tabel
Pergerakan Nilai Tukar Rupiah 1995-1999.
Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif.
Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar
negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri juga menurun, kebalikannya
arus masuk turis asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di
bidang pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya
perbaikan dalam neraca berjalan. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang
besar bagi Unit Kecil Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni
pertumbuhan jumlah unit usaha, jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran
dari IMB untuk melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan
peningkatan pendapatan untuk kelompok menengah ke bawah. Namun secara
keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar
dari dampak positifnya.
C. KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN
PERAN IMF DALAM MENGATASI KRISIS
Pada
bulan Mei 1998, setelah menghadapi tekanan yang makin luas dari masyarakat,
yang diujungtombaki mahasiswa, akhirnya Presiden Soeharto mundur dari
jabatannya dan digantikan oleh Wakil Presiden Habibie. Presiden Habibie meminta
Menko Ekuin untuk tetap duduk sebagai Menko Ekuin di kabinetnya, dan tetap
melanjutkan upaya pemulihan seperti yang telah dirintis sebelumnya. Dalam tempo
singkat pemerintah baru bergerak cepat dengan serangkaian kebijakan yang
didukung oleh masyarakat internasional. Tujuannya adalah untuk menghentikan
kerusakan lebih lanjut pada perekonomian dan segera memacu pemulihan ekonomi.
Agenda pemulihan dimaksud ditempuh melalui lima program, yaitu:
1.
Mengembalikan stabilitas makro ekonomi.
2.
Melanjutkan reformasi structural.
3.
Merestrukturisasi sistem perbankan.
4.
Menyelesaikan masalah hutang swasta.
5.
Mengurangi dampak krisis pada
penduduk miskin melalui pelaksanaan JPS (jaring pengamanan sosial /social
safety net).
Semua program itu harus dilakukan secepat mungkin.
Dengan langkah-langkah tersebut pemerintah berhasil meredam tingkat kerusakan
ekonomi akibat krisis, bahkan mampu mengembalikan Indonesia pada jalur pemulihan yang benar. Hal ini
terbukti dengan mulai pulih dan stabilnya nilai tukar rupiah menjadi Rp6.500
sampai Rp7.500 perdolar, dalam kurun waktu yang cukup lama, sampai menjelang
pemilihan presiden di bulan Oktober 1999. Inflasi juga terkendali, dari hampir
80% pada tahun 1998 menjadi 2% saja pada
tahun berikutnya (1999).
Tabel inflasi setelah krisis 1998 – 2004.
Dengan kondisi ini tingkat suku bunga dapat turun
dari sekitar 80% menjadi 11-12%. Konsumsi dalam negeri mulai pulih, khususnya
dalam permintaan terhadap industri otomotif dan industri konstruksi. Pendek
kata, turbulensi ekonomi itu dalam waktu singkat telah berhasil dikendalikan.
Menjelang pertengahan 1999 krisis ekonomi Indonesia telah melampaui titik nadir
dan telah mulai akan tumbuh lagi. Sepanjang tahun itu ekonomi berhasil tumbuh
sedikit dengan peningkatan PDB sebesar
0,3%.
Tabel
peningkatan PDB Indonesia setelah krisis 1998 – 2005.
Seandainya momentum pemulihan ekonomi dapat dijaga
secara konsisten, berdasarkan prediksi waktu itu, maka pertumbuhan pada tahun
2000 diperkirakan sebesar 4-5%. Yang terpenting adalah bahwa ekspor kembali
bergairah, antara lain karena para eksportir menikmati keuntungan atas
terdepresiasinya nilai mata uang rupiah. Kecenderungan ini relatif berlaku sama
untuk negara-negara yang dilanda krisis, seperti Thailand, Korea Selatan,
Malaysia, dan Indonesia. Untuk meredam dampak krisis terhadap masyarakat
miskin, dengan cepat diberlakukan
program JPS dalam berbagai bentuk, seperti:
1.
Penyediaan subsidi beras untuk keluarga miskin.
2. Pemberian beasiswa untuk murid dari SD hingga perguruan tinggi
(pelayanannya mencapai 1,7 juta murid).
3.
Pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi keluarga miskin.
4. Pembangunan prasarana desa melalui
program padat karya untuk menciptakan lapangan kerja secara massal.
Pada waktu yang bersamaan, produksi padi telah
kembali ke posisi semula, seperti kondisi sebelum krisis. Hal ini, selain
karena iklim telah mulai pulih ke kondisi normal, juga karena ditunjang oleh
berbagai program pemberdayaan petani yang meliputi pemberian kredit usaha tani
dan bantuan tekn is melalui perguruan tinggi setempat, LSM, dan koperasi. Rekonstruksi
ekonomi seperti yang telah digambarkan di atas dilaksanakan melalui cara
konstitusional, dengan berbagai undang-undang dan peraturan, yang dibarengi
pula dengan pembentukan lembaga baru
sesuai kebutuhan. Langkah-langkah reformasi yang dilakukan pemerintah adalah :
1.
Pemerintahan Habibie memperkenalkan undang-undang baru tentang kepailitan
yang memberikan kepastian hukum kepada kreditur maupun debitur.
2.
Menetapkan mekanisme penyelesaian hutang swasta melalui apa yang dikenal
sebagai Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative Task Force).
3.
Penutupan atau pengambilalihan bank yang tidak sehat dan yang melanggar
ketentuan.
4.
Memperkuat BPPN dengan mempertegas status kelembagaan dan mengisinya
dengan SDM yang professional
5.
Menetapkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen
6.
Menetapkan peraturan untuk menjamin praktik bisnis yang kompetitif,
sehat, dan anti monopoli
7.
Bekerja sama dengan sektor swasta dalam membangun good corporate governance.
Sejalan dengan langkah reformasi di bidang ekonomi
ini, pemerintahan Habibie juga memulai reformasi di bidang politik sebagai
landasan hidup berdemokrasi, termasuk penyelesaian isu politik yang sensitif di
forum internasional, yaitu kasus Timor Timur. Pemilihan umum berhasil diselenggarakan pada bulan Juni
1999, dan yang dicatat sebagai pemilihan umum multipartai yang sangat
demokratis dengan disaksikan oleh para pengamat dari seluruh dunia. Kemudian
diikuti dengan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden, dan ini pun dicatat
sebagai pemilihan presiden yang paling demokratis sejak proklamasi kemerdekaan
tahun 1945. Langkah lainnya masih banyak lagi. Hak asasi manusia dihormati dan
penegakan hukum diupayakan terus menerus. Kepolisian dipisahkan dari tentara
(TNI), dan tentara berada di bawah
pengendalian sipil. Kontrol atas media massa dicabut, kebebasan pers
diberlakukan, kebebasan berserikat dan
kemerdekaan mengeluarkan pendapat dijamin. Serikat buruh tidak lagi dibatasi oleh
beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam
jumlah besar yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai
tukar rupiah. Jadi tindakan yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai
rupiah ke tingkat yang wajar dan dari sini baru menghitung besarnya subsidi.
Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar nilai tukar dengan dollar AS yang
masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada konsumen, sementara pendapatan
masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak berubah sejak sebelum terjadinya
krisis moneter, kalau tidak menurun dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak sebanding,
kita harus melihat sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi. Bila
pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga
kali lipat sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang
asing yang tinggal di Indonesia misalnya. Dalam kaitan ini perlu
dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya krisis yang
berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa yang
menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk
berkorban mengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat
dengan misalnya menaikkan harga BBM dan tarif listrik. Di antara saran-saran
IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal asing dalam kegiatan
ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang yang
cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan hingga
100% baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari perusahaan-perusahaan
yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public.
Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang
bagi bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan
liberalisasi perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi pemerintah
di forum WTO, AFTAdan APEC.
Masalahnya
bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap
restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi dan moneter, dan
apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalah anti asing atau
sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah menyisakan
bidang kegiatan untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal kecil? Apa
permintaan IMF ini tidak terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima
titipan pesan sponsor dari negara-negara besar yang ingin memaksakan
kepentingannya dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Saran IMF
lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan program
stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun
Undang-Undang Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal
15 Januari 1998). Ikut campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah
sangat baik, karena IMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu
memulihkan kepercayaan kreditor.
Program Reformasi Ekonomi IMF
Menurut
IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena pemerintah
baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi.
Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan
pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti
dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial.
(Fischer 1998b). Sementara itu pemerintah Indonesia telah enam kali
memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second
Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal
24 Juni, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang
keempat, tanggal 16 Maret 1999. Program bantuan IMF pertama
ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program reformasi ekonomi yang
disarankan IMF ini mencakup empat bidang, yaitu :
1. Penyehatan
sektor keuangan.
2.
Kebijakan fiscal.
3. Kebijakan
moneter
4. Penyesuaian
struktural.
Untuk menunjang program
ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$11,3 milyar
selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar
dicairkan segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila
program penyehatannya telah dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan
dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari
jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia sendiri mempunyai kuota di IMF
sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. Di samping dana bantuan
IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negara-negara sahabat juga
menjanjikan pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih kurang US$ 37
milyar. Namun bantuan dari pihak lain ini dikaitkan dengan kesungguhan
pemerintah Indonesia melaksanakan program-program yang diprasyaratkan IMF. Sebagai
perbandingan, Korea mendapat bantuan dana total sebesar US$ 57 milyar untuk
jangka waktu tiga tahun, di antaranya sebesar US$ 21 milyar berasal dari IMF.
Thailand hanya memperoleh dana bantuan total sebesar US$ 17,2 milyar, di
antaranya US$ 4 milyar dari IMF dan masing-masing US$ 0,5 milyar berasal dari
Indonesia dan Korea. Karena dalam beberapa hal program-program yang
diprasyaratkan IMF oleh pihak Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin
dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi kedua yang menghasilkan persetujuan
mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yang ditanda-tangani pada tanggal
15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saran-saran IMF diharapkan akan
mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah
bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokok-pokok
dari program IMF adalah sebagai berikut:
A. Kebijakan
makro-ekonomi
-Kebijakan
fiscal
-Kebijakan
moneter dan nilai tukar
B. Restrukturisasi
sektor keuangan
-Program
restrukturisasi bank
-Memperkuat
aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C. Reformasi
structural
-Perdagangan
luar negeri dan investasi
-Deregulasi
dan swastanisasi
-Social
safety net-Lingkungan hidup.
Setelah pelaksanaan
reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan, maka diadakanlah
negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary
memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7
appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas dari kedua
persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian utang
luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan masing-masing
program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural.
Strategi yang akan dilaksanakan
adalah:
1. Menstabilkan
rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia.
2.
Memperkuat dan
mempercepat restrukturisasi sistim perbankan.
3. Memperkuat implementasi
reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing.
4.
Menyusun kerangka untuk
mengatasi masalah utang perusahaan swasta.
5. Kembalikan
pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga eksporbisa bangkit
kembali.
Ke
tujuh appendix adalah masing-masing :
1. Kebijakan
moneter dan suku bunga.
2.
Pembangunan sektor
perbankan.
3.
Bantuan anggaran
pemerintah untuk golongan lemah.
4.
Reformasi BUMN dan
swastanisasi.
5.
Reformasi structural.
6.
Restrukturisasi utang
swasta.
7. Hukum
Kebangkrutan dan reformasi yuridis.
Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi
sektor perbankan. Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi
perusahaan kecil-menengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran
pemerintah (butir 16 dan 20dari Suplemen). Awal Mei 1998 telah dilakukan
pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah yang sama akan dicairkan lagi
berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli, bila pemerintah dengan
konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko Ekuin/Kepala Bappenas
menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya memang tidak kita gunakan untuk
intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta memberi rasa aman, rasa
tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki cukup devisa
untuk mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri”. Pencairan
berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baru akan terlaksana
awal bulan September.
Kritik Terhadap IMF
Banyak kritik yang
dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani krisis
moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa :
1. Program
IMF terlalu seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya
sama.
2. Program
IMF terlalu banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b).
Radelet dan Sachs
secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand, Korea
dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di ketiga negara
tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai permasalahan
dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan program penyelamatan
yang tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya surplus
dalam anggaran belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja negara
sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus
ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari
Orde Baru untuk menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip
ini terus dipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran
untuk menutup anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat
inflasi yang melebihi 10%. Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999
terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini bukan disebabkan karena
kebijakan defisit finansial dari pemerintah, tetapi oleh karena nilai tukar
rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS.
Semakin
jatuh nilai tukar rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran
belanja. Karena itu pemecahan utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai
tukar rupiah ke tingkat yang wajar. J. Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa
prakondisi IMF yang teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis
yang berkepanjangan berpotensi menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian
berlakunya praktek apa yang dinamakan “konsensus Washington”, yaitu negara
pengutang lazimnya harus mendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS, yang
pada dasarnya hanya memperluas kesempatan ekonomi AS.
pemerintah untuk mencapai sasaran surplus anggaran
sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin dicapai
sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah peningkatan
ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada program yang
jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk
mendorong ekspor non-migas.
Penasehat
khusus IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga mengatakan bahwa “IMF
kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan. Di satu pihak,
perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan danvisi
politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada
fakta konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini,
menjadi hal yang disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya
pekan depan”. Demikianpun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998). Sri
Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak memperlihatkan
adanya konsistensi antar instrumen kebijaksanaan. Di satu pihak IMF memberikan
kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan menyediakan dana
untuk menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganut kebijaksanaan
moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan efektivitas
kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar dan inflasi.
“Secara makro ancaman kegagalan
terbesar kesepakatan ketiga ini berasal dari kebijaksanaan moneter yang masih
ambivalen, karena keharusan BI melakukan fungsi
lender of last resort bagi perbankan nasional, yang
bertentangan dengan tema pengetatan, juga ketidak sejalanan kebijaksanaan
moneter dan fiskal” (Sri Mulyani: 72).
Saran IMF menutup sejumlah bank yang
bermasalah untuk menyehatkan sistim perbankan Indonesia pada dasarnya adalah
tepat, karena cara pengelolaan bank yang amburadul dan tidak mengikuti
peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan ini tidak diperhitungkan.
Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank Indonesia dan
perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat beramai-ramai
memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan pemerintah atau
ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan nasional yang
gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari persetujuan IMF
tanggal 15 Januari 1998). Pertanyaan mendasar yang harus ditujukan kepada IMF
menurut penulis adalah sejauh mana IMF bersungguh-sungguh dalam hal membantu
mengatasi krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama
seperti kesungguhan Amerika Serikat ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan
IMF dan negara-negara maju lainnya yang berhasil menggalang sebesar hampir US$
48 milyar Januari 1995? Setelah mencapai titik terendah tahun 1995,
perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996 dapat bangkit kembali.
Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam jarak waktu yang
cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia.
untuk menjalankan programnya secara ketat dan
membiarkan keadaan ekonomi Indonesia terus merosot menuju resesi yang
berkepanjangan.
Dengan
menahan pencairan bantuan tahap kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1
milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah jarak yang cukup lama antara paket
bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia secara
cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan memperparah keadaan.
Karena badan internasional lain dan negara-negara sahabat yang menjanjikan
bantuan juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang
besarnya mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain pihak,
kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan bantuannya,
IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan tuntutan reformasi
politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada mundurnya
Presiden Soeharto.
Saran
IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang ketat,
menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan
ekonomi,dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas
dengan petunjuk IMF (butir 14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari
1998, butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnya tidak ada program khusus yang
secara langsung ditujukan untuk menguatkan kembali nilai tukar rupiah, juga
tidak ada Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan permasalahan
yang utama dan yang paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebih
dahulu mengambil kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah,
kalau mau, dengan mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November,
yang didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan
negara-negara sahabat.
Dengan demikian timbulnya krisis
kepercayaan yang berkepanjangan dapat dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak
tahu apa yang harus dilakukannya dan berputar-putar pada kebijakan surplus
anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sector riil yang
memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari
negara-negara maju yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya
bagi mereka dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan Indonesia.
Di lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan kesungguhan
Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tanda kekurang
sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan berjangka
pendek untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan menstabilkannya
membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih program IMF atau currency
board system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilan nilai tukar pada
tingkat yang wajar. Krisis ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan
tanggung jawab IMF dan tidak bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan
yang paling utama dari IMF adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak
mencari pemecahan terhadap masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan
berputar-putar pada reformasi structural yang dampaknya jangka panjang.
Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus secara
dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat
dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan
harapan pada IMF ini disalahgunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk
melaksanakan reformasi struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang
yang sudah hampir tenggelam diombang-ambing ombak laut tidak segera
ditolong dengan dilempari pelampung, tetapi disuruh belajar berenang dahulu. Reformasi
struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasardan penting,
tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementara
pemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak perusahaan
yang jatuh bergelimpangan.
Banyak
perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam negeri tidak bisa menjual
barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan ini umumnya memiliki
kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak terjangkau dengan
semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta dan nilai
tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah
dasar jangka pendek, yang lama tidak disinggung oleh IMF. Di sini timbul
keragu-raguan akan kemurnian kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul
teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat inti permasalahannya atau
berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk
memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi duri di matanya dan bagi
Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing? Tampaknya di balik
anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan politik dan
ekonomi dari negara-negara besar tertentu.
Program reformasi IMF secara
mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah
sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Permintaan IMF untuk menghentikan
dengan segera perlakuan pembebasan pajak dan kemudahan kredit untuk proyek
mobil nasional dan IPTN adalah tepat , karena dalam
jangka pendek proyek ini akan mengacaukan
kebijakan pemerintah di bidang fiskal, anggaran dan
moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan
listrik yang kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah benar.
Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi
silang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik
yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang
lebih efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah
secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu mempunyai
dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil, meskipun
kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya jaringan keselamatan
sosial. Tindakan drastis ini sedikit banyak telah membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan
sosial dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah
tidak bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu
keresahan masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari
kesepakatan dengan IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak secara mendadak.
Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih bisa diberikan
kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk berpenghasilan
rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi sekarang hampir
tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan
subsidi akan diturunkan secara berarti. (butir 10 dan 11 dari Suplemen). Subsidi
untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan dan dinaikkan
dalam anggaran pemerintah (butir 20 dari Suplemen). Membengkaknya subsidi ini
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan
listrik dalam jumlah besar yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena
merosotnya nilai tukar rupiah.
c. Perbedaan krisis ekonomi 97-98 dan perekonomian
Indonesia 2015
Anjloknya
nilai rupiah di awal 2015 berbeda dengan saat krisis ekonomi dan moneter 1998
silam. Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro dalam konferensi pers keterangan
Perkembangan Ekonomi Indonesia Terkini, Kondisi sekarang (2015) berbeda dengan
1998, saat ini memang dolar lagi menguat, ekonomi AS sedang membaik. Jadi bukan
hanya rupiah (yang melemah) tapi mata uang yang lainnya juga. Beliau berharap,
masyarakat tidak panik dengan kondisi melemahnya rupiah yang saat ini mencapai
level Rp13.000 per USD.
Berdasarkan
kurs transaksi BI Selasa (10/3), nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS
menjadi 13.124 (kurs jual) /12.994 (kurs beli) dibandingkan dengan posisi
kemarin 13.112/12.982 per dolar AS. Namun rupiah menguat terhadap euro menjadi
14.211,98/14.068,60 dibanding posisi kemarin 14.218,65/14.072,49.
Nilai
tukar rupiah juga menguat terhadap yen Jepang menjadi 10.788,33/10.679,71
dibanding posisi kemarin sebesar 10.849,81/10.740,46. Rupiah juga menguat
terhadap dolar Australia menjadi 10.060,86/9.958,60 dibandingkan dengan nilai
kemarin sebesar 10.093,62/9.988,35.
Pelemahan rupiah yang terjadi dengan intensitas yang
tinggi saat ini, berbeda dengan kondisi krisis pada 1998.
Empat Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun
1997-1998 :
Yang pertama, stok utang luar negeri
swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan
kondisi bagi “ketidakstabilan”.
Yang
kedua disebabkan oleh adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di
Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal
langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika
liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an,
mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak
mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan.
Yang
ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu
tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi.
Yang
keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis
ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Faktor
situasi politik merupakan hal yang paling sulit diatasi karena kegagalan dalam
mengembalikan stabilitas sosial-politik
mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara
mantap dan berkesinambungan.
Beliau
juga menambahkan, Penguatan USD murni mereka sedang berjaya di tahun ini, hal
itu terlihat USD yang menguat terhadap hampir semua mata uang dunia, termasuk
euro dan yen. Sehingga bukan hanya rupiah saja yang mengalami pelemahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://ock-t.blogspot.com/2011/12/krisis-ekonomi-di-indonesia-tahun-1997.html
2. http://www.academia.edu/5221392/KRISIS_MONETER_INDONESIA_SEBAB_DAMPAK
_PERAN_IMF_DAN_SARAN_
3. http://beritaekonomi-terkini.blogspot.com/2013/09/akankah-terulang-krisis-ekonomi.html
4. http://putracenter.wordpress.com/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-tahun-1997
-1998-apakah-akan-terulang-pada-krisis-ekonomi-sekarang/
5. http://www.academia.edu/7142696/KRISIS_EKONOMI_DAN_MASA_DEPAN_EKONOMI_
INDONESIA_Oleh
6. http://www.slideshare.net/annasherley/kelompok-3-makalah-krisis-ekonom
7.
http://www.academia.edu/9179660/PEREKONOMIAN_INDONESIA
8. https://putracenter.wordpress.com/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekononomi-tahun-1997-1998
-apakah-akan-terulang-pada-krisis-ekonomi-sekarang/
9.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/09/10/0806314/Pelajaran.Krisis.1997/1998
10. http://beritaekonomi-terkini.blogspot.com/2013/09/akankah-terulang-krisis-ekonomi.html
11. www.tradingeconomics.com
12. http://www.satuharapan.com/read-detail/read/situasi-rupiah-2015-berbeda-dengan-1998
NOTE :
PENULISAN INI UNTUK MENYELESAIKAN TUGAS KELOMPOK UNTUK MATA KULIAH
PEREKONOMIAN INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar